Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) merupakan salah satu sumber penerimaan penting bagi daerah. Pajak ini dipungut atas kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan bumi serta bangunan yang ada di wilayah kabupaten/kota.
Dengan memahami dasar-dasar PBB-P2, masyarakat diharapkan lebih mengetahui hak dan kewajibannya dalam membayar pajak daerah, sekaligus memahami mengapa pajak ini penting untuk mendukung pembangunan.
1. Apa itu PBB-P2?
PBB-P2 adalah pajak daerah yang dikenakan atas tanah (bumi) dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, atau dimanfaatkan oleh orang pribadi maupun badan.
Dasar hukum:
- UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).
 - UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD).
 - Peraturan Daerah (Perda) kabupaten/kota masing-masing sebagai aturan teknis pelaksanaan.
 
2. Siapa yang Menjadi Wajib Pajak?
Wajib Pajak PBB-P2 adalah:
- Orang pribadi yang memiliki, menguasai, atau memanfaatkan tanah dan/atau bangunan.
 - Badan hukum yang memiliki atau menggunakan tanah dan/atau bangunan.
 
Contoh: pemilik rumah tinggal, pemilik toko, perusahaan pemegang gedung perkantoran, hingga pengelola hotel atau restoran.
3. Apa yang Menjadi Objek Pajak?
Objek pajak PBB-P2 meliputi:
- Bumi: tanah pekarangan, lahan pertanian, kebun, tanah kosong.
 - Bangunan: rumah, ruko, kantor, gedung, hotel, pusat perbelanjaan, dan fasilitas sejenis.
 
Perlu diketahui, tidak semua objek dikenakan PBB-P2. Yang dikecualikan, misalnya:
- Fasilitas pemerintah yang digunakan untuk pelayanan publik.
 - Tempat ibadah.
 - Fasilitas pendidikan dan kesehatan.
 - Kuburan atau pemakaman umum.
 
4. Bagaimana Cara Menghitung PBB-P2?
PBB-P2 dihitung berdasarkan:
PBB-P2 = Tarif x (NJKP – NJOPTKP)
Keterangan:
- NJOP (Nilai Jual Objek Pajak): harga rata-rata tanah/bangunan di suatu wilayah.
 - NJOPTKP (Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak): batas nilai tertentu yang tidak dikenakan pajak. Besaran nasional = Rp. 12.000.000, namun daerah bisa menetapkan lebih tinggi melalui Perda (misalnya DKI Jakarta Rp. 60 juta).
 - NJKP (Nilai Jual Kena Pajak): persentase dari NJOP setelah dikurangi NJOPTKP. Sesuai UU HKPD, ditetapkan antara 20%–100%.
 - Tarif PBB-P2: ditetapkan melalui Perda dengan batas maksimal 0,5% (UU No. 1/2022).
 
Contoh sederhana:
      Sebuah rumah dengan NJOP Rp. 100.000.000.
- NJOPTKP: Rp. 12.000.000.
 - Dasar pengenaan = Rp. 100.000.000 – Rp. 12.000.000 = Rp. 88.000.000.
 - Misal NJKP ditetapkan 40%, maka NJKP = Rp. 35.200.000.
 - Jika tarif Perda = 0,1%, maka PBB-P2 = 0,1% x 35.200.000 = Rp. 35.200 per tahun.
 
5. Kapan PBB-P2 Mulai Terutang?
PBB-P2 terutang setiap tanggal 1 Januari tahun berjalan. Besaran pajak ditetapkan melalui SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang) yang diterbitkan pemerintah daerah dan wajib dibayar sesuai jatuh tempo.
Pemahaman dasar tentang PBB-P2 penting agar masyarakat lebih siap, kritis, dan rasional menghadapi perubahan kebijakan.
PBB-P2 adalah kewajiban pajak daerah yang melekat pada kepemilikan tanah dan bangunan. Dengan mengetahui definisinya, siapa wajib pajaknya, objeknya, cara menghitung, dan kapan terutang, masyarakat bisa lebih memahami peran PBB-P2 sebagai instrumen penting pembiayaan pembangunan daerah.
Diskominfo-SP - 2025
                            
                        













